Puasa kifarat atau puasa tebusan adalah puasa yang dikerjakan karena melanggar suatu aturan yang telah ditentukan. Diantaranya yaitu :
- Jika orang Islam dengan tidak sengaja membunuh orang Islam lain dan ia tidak cukup mampu untuk memerdekakan seorang budak belian yang beriman, maka ia diwajibkan menjalankan puasa dua bulan berturut-turut. QS. (4)An-Nisa’: ayat 92.
- Jika seorang suami melakukan zhihar terhadap istrinya, kemudian mereka hendak menarik kembali ucapannya, maka sebelum keduanya bercampur diwajibkan memerdekakan seorang budak, bila ia tidak dapat, maka wajib atasnya puasa dua bulan berturut-turut. QS. (58) Al Mujaadilah: ayat 3 dan 4.
- Jika seorang bersumpah dengan sengaja dan kemudian dilanggarnya, maka kifarat sumpah tersebut adalah memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka (10 orang miskin) atau memerdekakan budak, bila ia tidak sanggup maka kifaratnya berupa puasa selama tiga hari. QS. (5) alMaidah: ayat 89.
- jika seseorang bersetubuh di siang hari bulan Ramadahan dan dalam keadaan ingat bahwa ia sedang berpuasa. Maka ia wajib membayar kafarat atau denda sebagai hukuman, yaitu memerdekakan budak (kalau hukumnya masih berlaku dan kalau budak itu ada) atau berpuasa berturut-turut selama dua bulan. Kalau tidak kuat, maka ia wajib memberi makan orang-orang miskin sebanyak enam puluh orang setiap harinya selama dua bulan berturut-turut. Ini adalah hukum bagi seorang suami yang melakukan persetubuhan di siang hari bulan ramadhan. Bagi sang isteri, hukumnya hanya wajib memberi kaffarat (memeberi makan enam puluh orang miskin) sebab wanita tidak mungkin dapat berpuasa dua bulan berturut-turut, sebab ia mendapatkan haidh setiap bulan. Demikianlah pendapat jumhur ulma.
Dalam hadits disebutkan sebagai berikut:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لَا قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْن؟ قَالَ: لَا قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا , فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ:اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ ) رَوَاهُ اَلسَّبْعَةُ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Abu Hurairah r.a berkata: Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Saw, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah celaka. Beliau bertanya: "Apa yang mencelakakanmu?" Ia menjawab: Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan. Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?" ia menjawab: Tidak. Beliau bertanya: "Apakah engkau mampu shaum dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: Tidak. Lalu ia duduk, kemudian Nabi Saw memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda: "Bersedekahlah dengan ini." Ia berkata: "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami. Maka tertawalah Nabi Saw sampai terlihat gigi siungnya, kemudian bersabda: "Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu.(HR. Imam tujuh dan lafadz hadits menurut riwayat Muslim.)
Takhrij Hadits : hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Maajah.
c. Puasa Nadzar
Puasa nadzar adalah puasa yang wajib dilakukan bagi orang yang bernadzar sebanyak hari yang di nadzarkan. Contoh puasa nadzar dapat dilihat dalam al-Quran yang menguraikan nadzarnya siti maryam.
Artinya :“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".(QS. Maryam (19) : ayat (26)).
B. Kewajiban-kewajiban dalam Puasa
1. Memperhatikan Permulaan Bulan Ramadhan
Ru’yah dan Hisab adalah dua istilah yang populer dikalangan umat Islam sebagai cara untuk menetapkan waktu permulan puasa. Sebenarnya kedua istilah tersebut bukanlah kegunaannya hanya untuk menetapkan waktu permulaan puasa, tetapi juga untuk menetapkan Idul Fitri, Idul Adha, menetapkan awal bulan tiap bulan qamariyah serta untuk menetapkan waktu shalat. Lebih dari itu hisab digunakan pula untuk menetapkan arah kiblat.
Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan qamariyah (Ramadhan) dengan jalan melihat dengan panca indera mata timbulnya/munculnya bulan sabit dan bila udara mendung atau cuaca buruk sehingga bulan tidak dapat dilihat maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan sya’ban menjadi 30 hari).
Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan qamariyah (Ramadhan) dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan secara eksak letak bulan, dengan demikian diketahui pula awal bulan qamariyah tersebut.
Dua jenis perhitungan ini yang kadang-kadang menimbulkan perbedaan faham, sehingga kadang-kadang mengakibatkan berbedanya permulaan puasa dan hari raya idul fitri di lingkungan umat islam Indonesia. Kedua jenis faham tersebut masing-masing mempunyai argumentasi yang sama-sama mendasarkan pada a-Qur’an dan Hadits, tetapi dengan sudut pandang dan tafsiran yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak dalam memandang dan memahami serta menafsirkan ayat al-Qur’an dan hadits seputar masalah ru’yah dan hisab.
Yang pertama: Ru’yatul hilal, yaitu karena telah melihat awal bulan Ramadhan dengan pandangan mata.
Sebagaimana diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 185:
artinya : “barang siapa yang telah melihat bulan diantara kamu, hendaklah ia berpuasa,”
Dalam hadits diterangkan:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ:( إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Ibnu Umar r.a berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Apabila kalian melihat tanggal berpuasalah, dan apabila kalian melihat tanggal, maka berbukalah. jika kalian dihalangi oleh awan/mendung, maka perkirakanlah." (HR. Bukhari dan Muslim)
وَلِمُسْلِمٍ: ( فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ )
Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah 30 hari”
وَلِلْبُخَارِيِّ: ( فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ )
Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi 30 hari."
Takhrij Hadits : Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari (1900) dan Muslim (2/760).
Untuk menentukan tanggal satu ramadhan dan kewajiban puasa, maka harus melalui proses melihat hilal, begitu juga untuk menentukan 1 Syawal harus melalui proses melihat hilal. Bila hilal tidak terlihat karena tertutup awan/terjadinya mendung maka harus disempurnakan bulan qamariyah menjadi 30 hari.
Adapun yang dimaksud dengan “melihat hilal” disini ialah “mengetahuinya”. Hal ini dapat terlaksana dengan adanya kesaksian orang yang adil (yakni orang yang dapat dipercaya) walaupun hanya seorang saja. Tidak demikian halnya dengan kesaksian terbitnya bulan syawal. Untuk itu diperlukan sedikitnya dua orang saksi yang adil. Hal itu berdasarkan sikap ihtiyath(sikap hati-hati) berkaitan dengan ibadah.
Menurut Imam Syafi’i dalam bukunya Drs.H.Ibnu Mas’ud dan Drs.H.Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i, mengatakan, bahwa untuk ru’yatul hilal Ramadhan cukup satu orang saksi, dan untuk hilal berbuka lebaran harus dua saksi. Sebuah hadits menyatakan :
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَ اِبْنُ حِبَّانَ.
Ibnu Umar r.a berkata, “ Manusia melihat hilal, lalu aku memberitahukan kepada Nabi Saw, bahwa aku benar-benar melihat hilal. Maka Nabi Saw berpuasa dan memerintahkan kepada manusia untuk berpuasa.”(HR. Abu Dawud dan dianggap shahih oleh Hakim dan Ibnu Hibban)
Yang ke-dua: dengan perhitungan (hisab). Allah berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
”Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.(QS. Yunus, ayat 5)
dan dalam surat an-nahl ayat 16 yang artinya : “dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk.”(QS. An-Nahl, ayat 16).
Dari dua jenis pendapat tersebut (Ru’yah dan Hisab) ada baiknya dicatat pendapat Prof.T.M.Hasbi Ash-Shiddiqy dalam bukunya Prof.Dr.Zakiah Darajat, ILMU FIQIH jilid 1, yang menyatakan bahwa menentukan awal dan akhir puasa boleh mempergunakan salah satu dari dua tersebut, baik sistem hisab maupun ru’yah. Bukankah dua-duanya mempunyai alasan yang kuat menurut mereka masing-masing dan sama-sama bersumber dari Al-Qur’an dan hadits.
2. Niat pada Malam Harinya
Puasa wajib (seperti puasa Ramadhan, Nadhar, dan Kafarat) tidak sah kecuali dengan menetapkan niat pada waktu malam sebelum fajar, adapun waktu menetapkan niat puasa adalah sejak terbenam matahari. Sebagaimana di terangkan dalam sebuah hadits:
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَمَالَ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ.
وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: ( لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ )
Dari Hafshah Ummul Mukminin bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." (HR. Imam Lima. Tirmidzi dan Nasa'i lebih cenderung menilainya hadits mauquf. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menilainya shahih secara marfu'.)
Menurut riwayat Daruquthni: "Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa wajib semenjak malam."
Takhrij Hadits :Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawaud (2454), Nasa’i (4/196), Ibn Majah(1700), Ahmad (6/286), Daruquthni (2/172). Ada perbedaan pendapat dalam hal sanadnya. Menurut Bukhari hadits ini mauquf dalam al-tarikh al-ausath dan al-‘ilal al-kabir (1/338), Abu Hatim dalam al-‘ilal karya anaknya (654), Tirmidzi dan Nasa’i, juga Baihaki (4/202), serta al-Zaila’I nashb al-Rayah (2/434).
Setiap malam memerlukan niat khusus yang pasti sejak malam harinya (yakni harus sudah ada niat di hati untuk niat berpuasa sebelum fajar), jadi bila seseorang berniat puasa pada siang hari (yakni setelah fajar) maka itu tidak memadai.
Adapun yang dimaksud niat khusus ialah niat untuk berpuasa di bulan ramadhan. Maka seandainya ia berniat puasa fardhu (tanpa menyebutkan nama Ramadhan) maka niatnya itu tidak sah. Jadi harus meniatkannya sebagai puasa fardhu bulan Ramadhan).
Selain itu “niat juga harus pasti” yaitu yakin bahwa puasanya itu benar-benar di bulan Ramadhan. Maka seandainya ia pada malam yang masih di ragukan apakah sudah masuk bulan ramadhan ataukah belum, meniatkan akan “puasa besok jika besok memang ternyata bulan ramadhan”, maka niat seperti itu tidak sah karena tidak mengandung kepastian.
3. Menahan Diri dari Memasukkan Sesuatu Kedalam Perut, Secara Sengaja dan dalam Keadaan Ingat Akan Puasanya.
Hakikat puasa sebagaimana yang telah di sepakati para ulama, adalah menahan diri untuk tidak memenuhi nafsunya bertahan dengan lapar dan dahaga, serta keinginan bersetubuh dengan istri, mulai dari terbit fajar hingga terbenam Matahari, dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT.
Oleh karena itu maka puasa seseorang menjadi batal dengan masuknya makanan dan minuman atau obat-obatan
yang biasa ataupun yang dimasukkan lewat dubur atau hidung. Akan tetapi tidak batal puasa seseorang jika melakukan pengobatan dengan cara berbekam, hanya saja itu termasuk makruh.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:
وَعَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَتَى عَلَى رَجُلٍ بِالْبَقِيعِ وَهُوَ يَحْتَجِمُ فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: أَفْطَرَ اَلْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ, وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Syaddad Ibnu Aus bahwa Nabi SAW pernah melewati seorang lelaki yang sedang berbekam pada bulan Ramadhan di Baqi'. Maka beliau bersabda: "Batallah puasa orang yang membekam dan dibekam." (HR. Imam Lima kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.)
Asbabul wurud : Diriwayatkan dari al-Baihaqi dalam syu’banul iman dari jalan Gayyats ibn Kallub al-Kufi dari Mutharrif bin Samurah bin Jundub dari bapaknya, ia berkata: “Rasulullah Saw pernah melewati yang didepannya seorang tukang bekam, keduanya juga sedang menggunjing seseorang. Rasulullah Saw bersabda: telah berbuka orang yang membekam dan dibekam”
Takhrij Hadits :Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2369), Nasa’I dalam al-kubra (2/218), Ibn Hibban (8/2 dan 3), dan al-Mawarid (900). Ada perbedaan pendapat mengenai sanadnya. Hadits ini shahih menurut Bukhari seperti halnya Ali ibn alMadini dalam al-‘ilal al-kabir (1/362) dan al-talkhish al-habir (2/205). Hadits ini juga shahih menurut Utsman al-Darimi seperti yang dikutip oleh Ibn Hajar dalam al-fath (5/255).
Berbekam tidak membatalkan puasa, kecuali disertai dengan menggunjing. Hanya saja berbekam itu termasuk yang dimakruhkan.
Di dalam hadits lain di terangkan:
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( أَوَّلُ مَا كُرِهَتِ اَلْحِجَامَةُ لِلصَّائِمِ; أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ اِحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَمَرَّ بِهِ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: " أَفْطَرَ هَذَانِ ", ثُمَّ رَخَّصَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بَعْدُ فِي اَلْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ, وَكَانَ أَنَسٌ يَحْتَجِمُ وَهُوَ صَائِمٌ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَقَوَّاهُ
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Pertama kali dimakruhkan berbekam bagi orang yang berpuasa adalah Ja'far Ibnu Abu Thalib ia berbekam dalam keadaan berpuasa. Lalu Nabi Saw melewatinya lalu beliau bersabda: "Batallah dua orang ini." Setelah itu Nabi Saw memberikan keringanan untuk berbekam bagi orang yang puasa. Dan Anas pernah berbekam ketika puasa. (HR Daruquthni dan ia menguatkannya.).
Tidak batal pula puasa seseorang karena bercelak, masuknya debu atau binatang kecil tanpa di sengaja.
Adapun yang di maksud dengan “dalam keadaan ingat akan puasanya” dalam definisi diatas adalah untuk membedakannya dengan orang lupa, sebab bagi orang yang makan atau minum dalam keadaan lupa akan puasanya maka puasanya itu tetap sah dan tidak batal karenanya.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa lupa bahwa ia sedang berpuasa, lalu ia makan dan minum, hendaknya ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah." (HR.Bukhari dan Muslim).
Takhrij Hadist : hadist ini diriwayatkan oleh bukhori (1933) dan muslim (2/809).
4. Menahan diri dari melakukan jima’ (senggama)
Seseorang yang berpuasa selain harus meninggalkan makan dan minum juga harus meninggalkan dari melakukan jima’ (senggama) di siang harinya, mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Namun seandainya ia melakukannya dalam keadaan lupa
bahwa ia sedang berpuasa, maka puasanya itu tidak batal, demikian pula puasanya tidak batal jika ia melakukannya pada malam hari atau ia ihtilam (bermimpi sehingga keluar mani) lalu masih tetap dalam keadaan junub ( belum mandi dari hadats besar) sampai sesudah terbitnya fajar.
Sebagaimaana diterangkan dalam hadits berikut :
وَعَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ, ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ زَادَ مُسْلِمٌ فِي حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ: وَ لَا يَقْضِي
Dari 'Aisyah dan Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memasuki waktu pagi dalam keadaan junub karena bersetubuh. Kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim. Muslim menambahkan dalam hadits Ummu Salamah: “Dan beliau tidak mengqodlo' puasa.”)
Takhrij Hadits : Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (1925-1926) dan Muslim (2/780).
5. Menahan Diri dari Istimna’
Istimna’ yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja, dengan atau tanpa jima’. Melakukan hal itu membatalkan puasa.
Adapun mencium atau memeluk istri tidak membatalkan puasa selama tidak mengeluarkan mani. Meskipun demikian perbuatan tersebut makruh hukumnya (yakni sebaiknya tidak melakukan) kecuali jika ia seorang yang sudah tua renta usianya, atau seseorang yang mampu menahan syahwatnya (sehingga tidak khawatir akan keluar mani)
, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ. وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: ( فِي رَمَضَانَ )
'Aisyah r.a berkata: “Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mencium dan bercumbu (dengan istri) dalam keadaaan berpuasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim lafadz hadits menurut Muslim. Ia menambahkan Dalam riwayat lain: “demikian itu pada bulan Ramadhan.) Takhrij Hadits: Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Betapapun juga meninggalkan hal seperti itu lebih utama. Dan apabila ia telah merasa khawatir akan akibat ciumannya itu, namun tetap juga ia mencium lalu tidak berhasil menahan keluarnya mani, maka puasanya batal, karena ia dianggap tidak menghormati dan tidak mengindahkan puasanya.
6. Menahan Diri dari Muntah Dengan Sengaja.
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Akan tetapi apabila ia muntah tanpa kemauannya sendiri , dank arena tidak dapat menahannya maka tidaklah batal puasanya.
Hal ini didasarkan dari hadits berikut :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ. وَأَعَلَّهُ أَحْمَدُ. وَقَوَّاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa muntah maka ia tidak wajib mengqodlo, dan barangsiapa yang sengaja muntah maka ia wajib mengqodlo." (HR Imam Lima. Dinilai cacat oleh Ahmad dan dinilai kuat oleh Daruquthni).
Demikian pula menelan kembali dahaknya
yang belum melewati tenggorokkan atau masih dalam batas dadanya, tidak membatalkan puasa. Hal ini termasuk keringanan bagi orang berpuasa mengingat seringnya terjadi yang demikian itu pada hamper semua orang. Akan tetapi, apabila ia menelan kembali dahaknya setelah berada dalam mulut, maka puasanya batal.
2. Puasa Tathawwu’
Puasa tathawwu artinya puasa tambahan dari puasa wajib. yang dimaksud ialah selesai dari puasa yang wajib kita laksanakan, Allah SWT memerintahkan pula kita supaya mengerjakan puasa yang sunnah. Adapun waktu mengerjakan puasa sunnah itu, ialah menurut aturan-aturan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. Yang termasuk puasa sunnah adalah sebagai berikut:
a. Puasa Asyura
عَنْ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ . (رواه البخاري)
dari 'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah r.a berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan puasa pada hari 'Asyura' (10 Muharam). Setelah diwajibklan puasa Ramadhan, maka siapa yang mau silakan berpuasa dan siapa yang tidak mau silakan berbuka (tidak berpuasa) ".(HR. Bukhari).
Takhrij Hadits: Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (Hadits no.1897, kitab puasa , bab puasa Asyura).
b. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal.
Rasulullah Saw bersabda:
وَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ اَلْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ, ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Ayyub Al-Anshory r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seolah-olah puasa setahun." (HR. Muslim).
Takhrij Hadits : Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.
Penjelasan Hadits: keutamaan puasa enam hari di bulan syawal setelah puasa sebulan di bulan Ramadhan mempunyai keutamaan seakan-akan dia puasa selama satu tahun, berpuasa pada bulan Syawal ini dapat dilakukan pada awal, pertengahan atau akhir bulan, dan boleh dilakukan secara berurutan dan boleh secara terpisah-pisah.
c. Puasa Sya’ban
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ, وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ, وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
'Aisyah r.a berkata: Rasulullah Saw biasa puasa sehingga kami menyangka beliau tidak berbuka dan beliau berbuka sehingga kami menyangka beliau tidak puasa. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau puasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban.(HR. Bukhari dan Muslim. Lafadz hadits menurut Muslim).
Takhrij Hadits: Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Penjelasan Hadits: Rasulullah Saw paling banyak puasa sunnah di bulan sya’ban puasa di bulan sya’ban hukunya adalah sunnah.
d. Puasa hari putih, yaitu pada hari yang ke 13, 14, dan 15 tiap-tiap bulan Qamariyah.
Sebuah hadits menyatakan:
عَنْ قَتادَةَ بِنْ مِلْحَانَ رضي الله عنه قال : كَانَ رَسُولُ اللهِ ص.م. يَأْمُرُوْنَا بِصِيَامِ اَيَّامِ الْبِيْضِ ثَلَاثَ عَشَرَ وَاَرْبَعَ عَشَرَةَ وَخَمْسَ عَشَرَةَ. (رواه ابو داود بسند حسن).
Dari Qatadah bin Milhan r.a ia berkata, Rasulullah Saw menyuruh kami berpuasa pada hari putih, yaitu tanggal 13,14 dan 15. (H.R Abu Dawud).[35] Takhrij Hadits : Haits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.
e. Puasa pada Hari Arafah
Hari Arafah adalah hari kesembilan Dzulhijjah. Mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji sangat dianjurkan berpuasa pada hari ini. Sabda Rasulullah:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ غُفِرَ لَهُ سَنَتَيْنِ مُتَتَابِعَتَيْنِ.(اخرجه الطبرانى فى الكبير وابو يعلى بسند رجاله رجال الصحيح)
“Barangsiapa berpuasapada ahri ‘Arafah diampuni dosannya dua tahun beturut-turut.” (HR. tabrani dan Abu Ya’la)
Takhrij hadits: hadits ini diriwayatkan oleh Tabrani dan Abu Ya’la.
Yang dimaksud dengan pengampunan dosa dalam hadist ini adalah pengampunan atas dosa-dosa kecil. Sedangkan dosa besar tidak terhapus kecuali dengan taubat,
f. Puasa Sembilan hari dalam Bulan Dzulhijjah
Sunnah bagi orang yang tidak mengerjakna fardhu haji berpuaa Sembilan hari dalam bulan Dzulhijjah (dimulai dari tanggal satu Dzulhijjah). Akan tetapi dalil yanag khusus mengenai puasa ini tidak jelas, kecuali hadist yang disebutkan dibawah ini:
مَامِنْ آيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحُ فِيْهَا اَحَبُّ اِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِذِهِ اَلاَيَّامِ : يَعْنِى اَيَامَ الْعُشُرْ، قَالُوا يا رسول الله : وَلَا الْجِهَادُ فِي سَيِيْلِ الله؟ قال : وَلَاالْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ اِلَّا رَجُوْلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَى بِشَئٍ. (اخرجه احمد والبخارى والترمذى وقال : حسن غريب صحيح)
“ Tidaka da yang beramal shaleh didalamnya lebih baik disisi ‘Azza wajalla daripada hari ini, yaitu hari kesepuluh Dzulhijjah. Sahabat bertanya, “bagaimana jihad pada jalan Allah?” Jawab Rasulullah Saw, “Tidaklah bermakna jihad pada jalan Allah kecuali seorang itu keluar (dirinya) bersaama dengan hartanya, kemuadian dia tidak pulang dengan sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan At-Tirmidzi mengatakan hasan gharib shahih).
Takhrij Hadist: Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhori, dan At-Tirmidzi.
g. Puasa Hari Senin dan Kamis
Abu Hurairah ra. Meriwayatkan:
اَنَّ الَّنبِي صلى الله عليه وسلم كَانَ اَكْثَرَ مَا يَصُوْمُ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسُ فَقِيْلَ لَهُ. فَقَالَ: اِنَّ اْلاَعْمَالَ تُعْرَضُ كُلُّ اثْنَيْنِ وَخَمِسُ فَيَغْفِرُ اللهُ لِكُلِّ مُسْلِمْ اَوْ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ اِلَا الْمُتَهَاجِرَيْنِ فَيَقُولُ : اَخُرْهُمَا. (اخرجه احمد وابن ماجه بسند صحيح)
“Nabi Saw, seringkali berpuasa pada hari Senin dan kamis. Kemudian seorang bertanya kepadannya, dan belaiu menjawab,”sesungguhnya amalan itu dipersembahkan kehadirat Allah pada setiap hari Senin dan kamis. Dan Allah mengampuni setiap muslim atau mukmin, kecuali orang yang tidak bertegur sapa (sebab satu perkara), lalu beliau berdoa “tangguhkanlah untuk keduanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad ynag shahih)[36]
3. Puasa yang di Makruhkan
Hari-hari yang makruh untuk berpuaasa ialah:
a. Pada hari Jum’at, kecuali hari sebelum atau sesudahnya berpuasa pula.
Sebuah hadist menyatakan:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ ر.ع. قال: قال رسول الله ص.م: لَايَصُمْ اَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمْعَةِ اِلَّا اَنْ يَصُوْمَ قَبْلَهُ اَوْيَصُوْمَ بَعْدَهُ. (روه مسلم)
Artinya: “ Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, ‘Rasulullah SAW, bersabda, “Tidak seseorag berpuasa pada hari Jum’at, kecuali apabila hari yang sebelumnya atau sesudahnya. “ (H.R. Muslim)
Takhrij Hadits : Hadits ini di riwayatkan oleh Muslim.
b. Puasa yang terus menerus pada siang malam dengan tidak mau berbuka karena perbuatan itu menyalahi perbuatan Nabi SAW.
Hadist Nabi SAW. menyatakan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ر.ع. قال : قال رسول الله ص.م. لَاصَامَ مَنْ صَاَم الْاَبَدَ، لَاصَامَ مَنْ صَامَ الْاَبَدَ (روه مسلم)
Artinya: “ Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, Rasulullah SAW, bersabda, “Tidaklah berarti puasa, orang yang berpuasa terus-menerus (selama-lamanya), tidaklah ada artinya puasa orang yang terus-menerus, tidaklah artinya puasa, orang yang berpuasa terus-menerus. (H.R. Muslim).[37]
Takhrij Hadits : Hadits ini di riwayatkan oleh Muslim.
wallaaahu a'lamu bish-shawaab.
4. Puasa yang di Haramkan
Ada beberapa hari yang dilarang untuk berpuasa, yaitu berikut ini:
a. Dua hari raya, yaitu hari raya idul fitri dan puasa hari raya idul adha
Sebuah hadist menyatakan :
عن ابي هريرة ر.ع. ان رسول الله ص.م. نهي عن صيام يومين يوم الاضحي ويوم الفطر (رواه مسلم )
Artinya : “dari abu hurairah r.a. bahwasannya rasulullah SAW telsh melarang berpuasa pada dua hari yaitu hari raya adha dan har raya fitri”(HR. Muslim)
Takhrij Hadits: Hadits ini di riwayatkan oleh Muslim.
b. Pada hari tasyrik yaitu pada tanggal :11,12,13 bulan dzulhijjah
Sebuah hadist menyatakan :
عن نُبيسة الهذَليّ ر.ع.قال :رسول الله ص.م. ايّام التشريقِ ايّام اكلٍ وشرب وذكرالله عز وجل (رواه مسلم)
Artinya : “ dari nubaisyah al-huzalli r.a. ia berkata rasulullah saw bersabda ‘hari tasyrik adalah hari makan minum dan menybutkan nama allah aza wadjalla” (HR Muslim)
Takhrij Hadits : Hadits ini di riwayatkan oleh Muslim.
Artinya hari itu merupakan hari berbahagia bagi hambaNya yang telah menjalankan perintah tuhan setiap tahunnya. Oleh karena itu rasullullah saw melarang puasa pada hari tasyrik.
c. Puasa dipertengahan bulan sya’ban ke atas.
Sebuah hadist menyatakan :
عن ابي هريرة ر.ع. قا ل رسول الله ص.م . اذا بقي نصف من شعبان فلا تصوموا (رواه الترمذى :حسن صحيح )
Artinya : “ dari abu hurairah r.a ia berkata ‘rasulullah saw telah bersabda ‘bila telah tinggal separuh bulan sya’ban maka janganlah kamu melaksanakan puasa”
Takhrij Hadits : hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi
d. Puasa pada hari syak artinya dalam hari yang meragukan yaitu awal ramadhan atau masih akhir bulan sya’ban.[38]
Hadist nabi saw bersabda
وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم ) وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ.
Ammar Ibnu Yasir r.a berkata, “Barangsiapa puasa pada hari yang diragukan, maka ia telah durhaka kepada Abdul Qasim (Muhammad) Saw.” Imam Bukhari menuturkan hadits secara ta’liq, sedangkan imam lima me-maushulkan-nya. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menganggap shahih.[39] Takhrij Hadits
Hadits ini di riwayatkan oleh imam Bukhari (4/143) sebagai mu’allaq, Nasa’I (4/153), Tirmidzi (2334), dan Ibn Majah (1645) dengan sanad yang kuat. Hadits ini shahih menurut tirnidzi dan Daruquthni (2/157), Baihaqi dalam Ma’rifat al-sunan (3/353), serta al-Hafidz ibn Hajar dalam al-ta’liq (3/140).
Wallaahu a'lamu bish-shawaab
Posting Komentar untuk "Hadits Ahkam Bab Puasa"