MAKALAH : SOSIOHISTORIS MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM


MAKALAH : SOSIOHISTORIS MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELLAKANG
Orang-orang Arab pra Islam biasa disebut jahiliyah yang berarti kebodohan. Kebodohan disini bukanlah dalam masalah ilmu pengetahuan akan tetapi yang dimaksud adalah kebodohan dalam masalah ketuhan dan keterbelakang moral msyarakat Arab atau dengann kata lain ketidak tahuan akan petunjuk Ilahi. Karena bangsa Arab sesungguhnya adalah bangsa yang memiliki peradaban dan pandai dalam hal perdagangan dan sastra.

Secara garis besar kondisi sosial masyarakat Arab Pada masa sebelum Islam dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Banyak terdapat tradisi-trsdisi yang menyimpang, maraknya perjudian, peperangan, perzinahan, pembunuhan dan lain sebagainya, sebagaimana banyak disebutkan dalam kitab-kitab tarikh.
Dalam pembahasan mengenai sosiohistoris masyarakat Arab pra Islam maka diantara hal-hal yang perlu kita ketahui adalah mengenai bagaimana keadaan masyarakat Arab pra Islam, baik dari segi keadaan ekonomi, sosial, keagamaan, maupun politiknya. Selain dari hal tersebut perlu juga kita ketahui asal-usul dari masyarakat Arab dan kondisi geografis tempat mereka tinggal untuk melengkapinya.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Siapakah masyarakat Arab pra Islama?
2.      Bagaimanakah kondisi geografis bangsa Arab?
3.      Darimanakah Asal-usul bangsa Arab itu?
4.      Bagaimanakah kondisi agama masyarakat Arab pra Islam?
5.      Bagaimanakah kondisi sosial masyarakat Arab Pra Islam?
6.      Bagaimanakah kondisi ekonomi masyarakat Arab pra Islam?
7.      Bagaimanakah kondisi politik masyarakat Arab pra Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Masyarakat Arab Pra Islam
Kehidupan masyarakat Arab pra Islam biasa disebut dengan  jahiliyah. Disebut jahiliyah karena menunjukkan masa dimana penduduk Arab berada dalam ketidak tahuan (kebodohan).
 Akar istilah jahiliyyah adalah berasal dari kata kerja jahila-yajhilu yang memiliki arti bodoh atau tidak tahu. Kemudian dalam struktur gramatikal bahasa Arab menjadi masdar yaitu jahiliyah berarti kebodohan atau keterbelakangan.
Kata jahiliyah sendiri muncul setelah datangnya Islam. Kata jahiliyah muncul dikarenakan beberapa tata sosial budaya bangsa Arab tidak sesuai dengan tata ajaran yang dibawa Islam. Disini makna Jahiliyah (kebodohan) tidak ditinjau dari segi ilmu pengetahuan, arsitektur, sastra, kemajuan ekonomi dan lain sebagainya, namun lebih kepada nilai-nilai sosial atau moral yang sangat buruk. Sebagai bukti adalah kebiasaan orang Arab yang suka mengubur Anak perempuan hidup-hidup, menyembah patung, dan kebiasaan-kebiasaan buruk lain.[1]
Masyarakat Arab, sebagaimana dijelaskan oleh Dedi Supriyadi dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam” ada dua macam, yaitu  masyarakat pedalaman atau pedesaan yang biasa disebut dengan Badui, dan masyarakat madani atau masyarakat kota.
Masyarakat Badui adalah masyarakat yang tinggal di pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah kedaerah lain guna mencari air dan padang rumput untuk gembalaan mereka. Sementara masyarakat madani adalah masyarakat yang suka melakukan perniagaan atau perdagangan dan sibuk dengan bepergian  ke berbagai daerah dalam melakukan kegiatan perdagangannya.[2]
B.       Geografis Bangsa Arab
Menurut bahasa, Arab Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah sejak dahulu kala kepada jazirah Arab.
Jazirah Arab dibatasi laut merah dan gurun Sinai di sebelah barat, disebelah timur dibatasi teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq bagian selatan, disebelah selatan dibatasi laut Arab yang bersambung dengan lautan India, disebelah utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari negeri Iraq, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan dalam penentuan batasan ini. [3] Luasnya membentang kurang lebih 1.100.000 mil persegi atau 126.000 farsakh persegi atau 3.156.558 kilo meter persegi.
Ali Mufrodi dalam bukunya Dedi Supriyadi “Sejarah Peradaban Islam” menjelaskan bahwa jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Disana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair dimusim hujan. Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir sahara yang terletak ditengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.    Sahara Langit, memanjang 140 mil dari utara keselatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2.    Sahara Selatan, yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan Ar-Rub al-Khalli (bagian yang sepi).
3.    Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri atas tanah Hat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan sahara ini.[4]
Karena kondisi geografis jazirah Arab yang dikelilingi gurun pasir dan tanah yang tandus inilah membuat jazirah Arab seperti benteng pertahanan yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok atau menguasai bangsa Arab. Oleh karena itu kita bisa melihat penduduk jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan semenjak zaman dahulu. Namun karakteristik geografis yang panas, tandus, dan gersang tersebut akan membentuk karakter keras dan tempramental.
Sedangkan hubungan dengan dunia luar, Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal semenjak dahulu kala yang mempertemukan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke benua Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina.
Karena letak geografisnya seperti itu, sebelah utara dan selatan dari jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar menukar perniagaan, peradaban, agama dan seni.[5]

C.      Silsilah Keturunan dan Cikal Bakal Bangsa Arab
Ditilik dari silsilahh keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum kaum bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu :
1.    Arab Ba’idah, Yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Amlaq dan lain-lain.
2.    Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qathan, atau disebut Arab Qathaniyyah.
3.    Arab Musta’ribah, yaitu kaumkaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il AS, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
Tempat kelahiran Arab Aribah atau kaum Qathan adalah di negeri Yaman, yang kemudian berkembang menjadi beberapa kabilah, diantara kabilah-kabilah yang terkenal adalah dua kabilah berikut :
a.    Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid al-Jumhur, Qadha’ah, dan Sakasik.
b.    Kahlan, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamdan, Anmar, Wathi’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Uzd, Aus, Khazraj dan anak keeturunan Jafnah Raja Syam.
Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru Jazirah, hal itu disebabkan kegagalan mereka dalam perdagangan, yang diakibatkan dari tekanan bangsa Ramawi dan tindakan mereka yang menguasai jalan perdagangan lewat laut dan setelah mereka menghancurkan jalan darat serta berhasil menguasai mesir dan Syam.
Selain itu hijrahnya suku Kahlan tidak menutup kemungkinan diakibatkan dari  persaingan antara suku-suku Kahlan dan Himyar, yang disudahi menetapnya suku-suku Himyar dan kepindahannya suku-suku Kahlan.
Sementara itu mengenai Arab Musta’ribah, cikal bakal kakek mereka yang tertua adalah Ibrahim AS, yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah daerah yang disebut Ar, berada di pinggir barat sungai Eufrat yang berdekatan dengan kufah.
Dikatakan bahwa Ibrahim AS hijrah dari Iraq ke Haran atau Hurran, termasuk pula ke Palestina dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan dakwah beliau. Beliau banyak menyusuri negeri ini hingga akhirnya beliau sampai ke-Mesir. Fir’aun penguasa Mesir saat itu merekayasa dan memasang siasat buruk terhadap istri beliau, Sarah. Namun Allah SWT menyelamatkan Sarah dari siasat buruk Fir’aun, hingga akhirnya Fir’aun tahu kedekatan Sarah dengan Allah SWT. Untuk itu Fir’aun kemudian menghadahkan putrinya sendiri yaitu Hajar yang menjadi pembantu Sarah, sebagai pengakuan Fir’aun terhadap keutamaan Sarah. Dan akhiirnya Sarah mengawinkan Hajar dengan Ibrahim.
Ibrahim AS kembali ke Palestina dan Allah SWT menganugrahkan seorang Putra yaitu Isma’il AS dari Hajar. Karena hal tersebut Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim AS untuk melenyapkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Isma’il AS. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman, tepatnya di baitul haram yang pada saat itu masih berupa gundukan-gundukan tanah. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya dapat dilihat dalam Shahihul Bukhary pada bab Kitabul Anbiya.
Dikatakan bahwa Ismail AS dikaruniai anak oleh Allah SWT sebanyak dua belas dari perkawinannya dengan putri Mudhadh bin Amr pemimpin kabilah Jurhum. Anak-anaknya semua adalah laki-laki, yaitu : Nabat atau Nabayuth, Qidar, Adba’il, Mabsyam, Masyma’, Duma, Misya, Hadad, Yatma, Yathur, Nafis, dan Qaidaman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di mekkah untuk sekian lama. Pokok pencaharian mereka adalah berdagang membentang dari negeri Yaman hingga kenegeri Syam dan mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru jazirah, dan bahkan keluar jazirah.[6] Mereka itulah yang disebut yang disebut bangsa Arab Isma’iliyyah. Kemudian keturunan Isma’il inilah yang menurunkan Adnan dan keturunan Adnan inilah yang kemudin terkenal dengan sebutan Arab Adnaniyah.
Sebagian ahli tarikh mengatakan bahwa bangsa Arab yang kedua dan yang ketiga (al-Aribah dan al-Musta’ribah) itu bangsa Arab al-Baqiyah, artinya bangsa Arab yang masih dapat ditemukan sampai sekarang ini, sebaliknya dari bangsa Arab al-Ba’idah. [7]
D.      Agama bangsa Arab Pra Islam
Mayoritas bangsa Arab adalah mengikuti dakwah Isma’il AS, yaitu tatkala beliau menyeru kepada bapaknya, Ibrahim AS yang intinya menyembah kepada Allaah, mengesakan Allah dan memeluk agamanya.[8] Dengan kata lain bahwa bangsa Arab di sekitar jazirah Arab pada masa dahulu sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sudah memahami kesaan Allah dan sudah mengenal tuhan Allah.[9]
Waktu bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka.[10]Agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang Musyrik yang mengaku berada pada agama Ibrahim AS, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah dan larangan syari’at Ibrahim AS. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia, dan mereka menjadi para penyembah berhala.[11]
Dedi Supriyadi dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam” menyebutkan bahwa, kebanyakan masyarakat Arab Pra Islam adalah penyembah berhala. Setiap kabilah memiliki berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di ka’bah, tetapi di tempat-tempat lain juga banyak terdapat berhala. Berhala-berhala terpenting adalah Hubal, Manat, Latta dan Uzza. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk mereka.[12] Demikianlah keadaan bangsa Arab Pra Islam yang melakukan kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala yang menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang Jahiliyyah yang menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim AS.
Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab.
Orang-orang Yahudi mempunyai dua latar belakang sehingga mereka berada di jazirah Arab, yang setidaknya digambarkan dalam dua hal, yaitu :
Yang pertama, kepindahan mereka pada masa penaklukan Bangsa Babilon dan Asyur di Palestina, yang mengakibatkan tekanan terhadap orang-orang Yahudi, penghancuran negeri mereka di tangan Bukhtanashar pada tahun 587 SM. Banyak diantara mereka yang ditawan dan dibawa kebabilonia. Sebagian di antara mereka juga ada yang meninggalkan palestina dan pindah ke Hijaz.
Yang kedua, pencaplokan bangsa Ramawi terhadap palestina pada tahun 70 Masehi, yang disertai dengan tekanan terhadap orang-orang Yahudi, sehingga kabilah-kabilah mereka berpindah ke Hijaz, lalu menetap di Yatsrib, Khaibar, dan Taima’.
Dari dua hal tersebut, maka agama Yahudi menyebar di sebagian masyarakat Arab lewat orang-orang Yahudi yang bermigrasi itu, yang kemudian mereka mempunyai kabilah-kabilah. Diantara kabilah yang terkenal adalah Khaibar, Nadhir, Musthaliq, Quraidzah, dan Qainuqa’.
Sedangkan agama Nasrani masuk ke jazirah Arab lewat penddukan orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah yang pertama kali di Yaman pada tahun 340 Masehi. Pada masa itu missionaris Nasrani menyelusup ke berbagai tempat di Yaman. Selang tak seberapa, ada seseorang yang zuhud, do’anya senantiasa dkabulkan dan memilii karamah yang datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama Masehi (Nasrani). Mereka melihat garis-garis kejujuran dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu mereka memenuhi ajakannya untuk memeluk agama Masehi.
Bangsa Arab yang memeluk agama Nasrani adalah dari suku-suku Ghassan, kabilah-kabilah Taghlib, Thai’ dan yang berdekatan dengan orang-orang Ramawi.
Sedangkan agama Majusi lebih Banyak berkembang di kalangan orang-orang Arab yang berdekatan dengan orang-orang Persi. Agama ini juga pernah berkembang dikalangan orang-orang Arab Iraq dan Bahrain serta wilayah-wilayah dipesisir teluk Arab.
Sedangkan agama Shabi’ah menurut beberapa kisah dan catatan adalah berkembang di Iraq dan lain-lainnya. Banyak penduduk Syam yang juga memeluknya serta penduduk Yaman pada zaman dahulu sebelum kedatangan beberapa agama baru seperti Yahudi dan Nasrani yang lama kelamaan kehilangan bentuknya dan surut.[13]
E.       Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra Islam.
Bila dilihat dari segi sosiologis dan antropologis bangsa Arab mempunyai tingkat solidaritas dan budaya yang tinggi. Tingkat solidaritas yang tinggi itu bisa dilihat dari kehidupan bangsa Arab di padang pasir yaitu kaum Badui. Mereka mempunyai perasaan kesukuan yang tinggi. Karena sukuisme itulah yang akan melindungi keluarga atau warga suatu suku. Hal ini disebabkan terutama karena di padang pasir tidak ada pemerintahan atau suatu badan resmi yang dapat elindungi rakyat atau warga negaranya dari penganiayaandan tindakan sewenang-wenang dari siapa saja. Kabilah atau suku itulah yang mengikat warganya dengan ikatan darah (keturunan) atau ikatan kesukuan. Kabilah itulah yang berkewajiban melindungi warganya dan orang-orang yang menggabungkan diri atau meminta perlindungan kepadanya.
Bila salah seorang dari warganya, atau dari pengiikut-pengikutnyanya dianiaya atau dilanggar haknya, maka menjadi kewajiban atas kabilah atau suku itu untuk membela.[14] oleh karena itu, dikatakan bahwa masyarakat Arab suka berperang, karenanya peperangan antar suku sering terjadi.
Lebih lanjut Ahmad Hashari dalam bukunya Dedi Supriyadi “Sejarah Peradaban Islam” menjelaskan bahwa penduduk arab kuno yang tinggal di pinggiran desa terpencil (Badui), kehidupannya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan, mereka berpegang pada aturan kabilah atau suku dalam kehidupan sosial.  Sementara penduduk arab kota (madani) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian, dan mereka juga berpegang teguh pada aturan kabilah atau suku.[15]
Selain itu, Bangsa Arab merupakan bangsa pencinta Syair, penyair-penyair mereka sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Rakyat bangsa tersebut mempunyai kebiasaan pagelaran puisi yang diselenggarakan di pasar-pasar seperti Ukaz dan Zulmajz. Biasanya syair atau puisi yang baik itu mereka gantung di ka’bah dan berhala kebesaran mereka.
Dikalangan bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat di unggulkan dan diprioritaskan, dihormati, dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Selain tu hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Seorang wanita tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. Sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa pernikahan padamasa jahiliyyah ada empat macam:
1.    Pernikahan secara spontan. Seseorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2.    Seorang laki-laki bisa berkata kepada istrinya yang baru suci dari haidh “temuilah fulan dan berkumpullah bersamanya!” suaminya tidak mengumpulinya, hingga ada kejelasan bahwa istrinya hamil dari orang yang disuruh mengumpulinya. Jika sudah jelas kehamilannya, maka suamii bisa mengambil kembali istrinya jika memang dia menghendaki hal itu. Yang demikian ini dilakukan karena dia ingin kelahiran seseorang anak yang baik dan pintar. Pernikahan seperti ini dinamakan nikah istibdha’.
3.    Pernikahan poliandri, yaitu pernikahan beberapa orang laki-laki yang jumlahnya tidak mencapai sepuluh orang, yang semuanya mengumpuli seorang wanita. Setelah wanita itu hamildan melahirkan bayinya , maka selang beberapa har kemudin dia mengundang semua laki-laki yang berkumpul dihadapannya. lalu dia bisa menunjuk siapapun yang dia sukai diantara mereka seraya menyebutkn namanya, lalu laki-laki itu bisa mengambil bayi itu.
4.    Sekian banyak laki-laki bisa mendatangiwanita yang dikehendkinya, yang juga disebut wanita pelacur. Biasanya mereka memasang bendera khusus didepan pintunya sebagi tanda bagi laki-laki yang ingin mengumpulinya. Jika wanita pelacur ini hamil dan melahirkan anak, dia bisa mengundang semua laki-laki yang mengumpulinya. Setelah semua berkumpul diselenggarakan undian. Siapa yang mendapat undian maka dia bisa mengambil anak itu dan mengakuinya sebagi anaknya. Dia tidak bisa menolak hal itu.
Setelah Allah mengutus Muhammad SAW bentuk pernikahan ini dihapus dan diganti dengan pernikahan ala Islam.
Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa Jahiliyyah ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki, bahkan mereka bisa menikahi dua wanita yang bersaudara. Mereka juga bisa menikahi janda bapakny, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati.
Perzinaan mewarnai setiap lapisan masyarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu, kecuali hanya sebagian kecil dari akum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa. Mereka tidak mau menerjunkan dir kedalam kehinaan itu.
Selain dari hal tersebut, ada diantara masyarakat Jahiliyyah yang mengubur hidup-hidupanak-anak putrinya,karena takut aib, atau membunuh nak-anak laki-laki karena takut miskin dan lapar.
Tetapi hal ini tidak dianggap sebagai  kebiasaan yang memasyarakat. Sebab sebagaimana pun juga mereka masih membutuhkan anak lakilaki untuk membentengi diri dari seorang musuh. [16]
Masyarakat Jahiliyyah juga suka minum arak, dan berjudi. Meminum arak merupakan salah satu adat kebiasaan mereka dan berjudi menjadi permainan yang disukai. Selain itu mereka juga tidak mempunyai kesopanan. Misalnya mengerjakan thawaf mengelilingi ka’bah pada musim haji baik laki-laki maupun perempuan melakukannya dengan telanjang, Mereka juga percaya dengan perkataan peramal, dan ahli nujum. Peramal adalah seseorang yang menggambarkan sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari yang mengaku bisa mengetahui rahasia ghaib.[17]
Secara garis besarnya, kondisi sosial mereka bisa dikatakan di liputi dengan kebrobokan moral dan kebodohan yang meliputi berbagai aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang, dan wanita diperlakukan layaknya benda mati.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ditengah kehidupan orang jahiliyyah banyak terdapat hal-hal yang hina, dan masalah-masalah yang tidak bisa diterima akal sehat. Akan tetapi meskipun begitu mereka masih memiliki sifat-sifat positif yang nantinya dijadikan Nabi SAW modal besar untuk mencetak generasi terbaik di muka bumi ini. Diantara sifat-sifat itu adalah sebagai berikut:
1.      Kedermawanan.
2.      Kuat dalam memegang janji.
3.      Memiliki kebanggaan terhadap diri yang tinggi dan tidak mudah tunduk dengan orang lain.
4.      Teguh dalam memegang prinsip.
5.      Peramah
Dengan modal dasar yang baik dan tersingkirnya segala yang jelek dari hati mereka, maka mereka berubah menjadi Muhajirin dan Anshor yang digelari sebagai umat terbaik setelah para Nabi.[18]
F.       Kondisi Ekonomi Masyarakat Arab Pra Islam
Perdagangan merupakan sarana yang paling dominan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat arab waktu itu. Pada masa sebelum Islam, diriwayatkan bahwa bangsa Arab keturunan Qathan yang diam di Yaman sudah sangat maju dalam urusan perniagaan atau perdagangan, dan sebagian dari mereka yang tinggal di dusun-dusun maju dalam pertanian. Memang Yaman itu daerah yang berbeda dengan tanah Arab yang lain. Perdagangan penduduknya bersumber dari barang-barang hasil tanah airnyasendiri, seperti bahan makanan, bahan pakaian dan sebagainya.
Sementara itu di hijaz bila dibandingkan dengan kemajuan bangsa Arab di Yaman, dapat dikatakan sangat jauh karena sukarnya perjalanan atau jalan menuju ke hijaz. Para pengembara pada masa itu sangat jarang yang mengembara ke sana. Namun sedikit demi sedikit bangsa Arab di Hijaz memperoleh kemajuan dalam hal perdagangan setelah adanya bangsa Arab di Yaman dan kaum Yahudi yang pindah ke sana. Sesudah masuknya bangsa-bangsa ini barulah mereka itu maju dalam perdagangan.
Selanjutnya, setelah itu keturunan Arab Isma’iliyyah (Adananiy) maju pula dalam perdagangan, kemajuan mereka tidak kalah dari  bangsa Arab di Yaman. Perdagangan keluar negeri mereka sangat pesat, sejak masa keturunan Isma’iliyyah (Adnaniy) sampai orang yang disebut Quraisy, yang kemudian dikenal dengan Arab Quraisy. Perdagangan mereka sampai negeri Syam, Yaman, dan negeri-negeri lain yang penting dalam perdagangan. Mereka dapat pula berhubungan dengan bangsa Persia, India, Mesir, Irak dan lain-lainnya, serta dapat pula mendirikan pasar-pasar untuk melakukan perniagaan.[19]
G.      Keadaan Politik Masyarakat Arab Pra Islam
Bangsa arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah dan berdiri sendiri-sendiri), satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar perhubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilah masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya mamfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar.
Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati apapun pendapat pemimpinnya. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin diktator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka. Hanya saja persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujaan tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
Pemuka atau pemimpin kabilah mempunyai hak-hak istimewa mendapatkan seperempat bagian dari harta rampasan perang. Harta rampasan itu untuk dirinya sendiri sebelum adanya pembagian.
Diantara kekuasaan di jazirah Arab, kekuasaan di Hijaz di mata bangsa Arab memiliki kehormatan tersendiri. Mereka melihat kekuasaan di Hijaz sebagai pusat kekuasaan agama. Mereka berkuasa di tanah suci dengan sifatnya sebagai kekuasaan yang mengurus para peziarah ka’bah dan pelaksanaan Syari’at Ibrahim.[20]
Pemerintahan pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik, dan Isma’il (keturunan Nabi Ibrahim) sebagai pemegang kekuasaan atas ka’bah. Kekuasaan politik kemudian pindah ke suku huzafah dan akhirnya ke suku Quraysdi bawah pimpinan Qushay. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusanurusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan ka’bah. Semenjak itu  suku Qurays menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab. Ada sepuluh jabatan tindibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Qurays, yaitu hijabah, penjaga kunci ka’bah; siqayah, penjaga airmata zam-zam yang digunakan untuk para peziarah; diyat, kekuasaan hakim sipil dan kriminal; sifarah, kuasa usaha negara atau duta; liwa’, jabatan ketentraman; rifadah, pengurus pajak untuk orang miskin; nadwah, jabatan ketua dewan; khaimmah, pengurus balai musyawarah; khazimah, jabatan administrasi keuangan; dan azlam, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa.[21]


BAB III
PENUTUP

A.      SIMPULAN
Kondisi geografis Jazirah Arab sebagian besar adalah berupa gurun pasir, tanah yang tandus, dan berbatu. Dibatasi laut merah dan gurun Sinai di sebelah barat, disebelah timur dibatasi teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq bagian selatan, disebelah selatan dibatasi laut Arab yang bersambung dengan lautan India, disebelah utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari negeri Iraq, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan dalam penentuan batasan ini. [22] Luasnya membentang kurang lebih 1.100.000 mil persegi atau 126.000 farsakh persegi atau 3.156.558 kilo meter persegi.
Secara garis besar silsilahh keturunan dan cikal bakal bangsa Arab adalah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : yang pertama, Arab Ba’idah, Yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Yang kedua, Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qathan, atau disebut Arab Qathaniyyah. Yang ke tiga Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il AS, yang disebut pula Arab Adnaniyah. Golongan yang kedua dan yang ketiga inilah yang dapat ditemukan hingga sekarang.
Kondisi agama masyarakat Arab Pra Islam dipenuhi dengan penyelewengan dari agama yang dahulu telah dibawa oleh nabi Ibrahim AS dan nabi Isma’il AS yang intinya adalah untuk mengesakan Allah SWT. Tetapi mereka malah mesenyekutukan Allah SWT dengan menyembah berhala. Selain penyembah berhala terdapat agama-gama lain diantaranya yaitu Yahudi, Nasrani, Shabi’ah dan Majusi.
Adapun kondisi sosial masyarakat Arab pra Islam adalah hidup dalam kondisi sukuisme, dan diliputi kebrobokan moral yang meliputi berbagai aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang, dan wanita diperlakukan layaknya benda mati. Namun disamping itu mereka memiliki sifat-sifat positif yang dapat dijadikan modal besar baginda Nabi SAW natinya. Sifat-sifat itu adalah, Kedermawanan., Kuat dalam memegang janji., Memiliki kebanggaan terhadap diri yang tinggi dan tidak mudah tunduk dengan orang lain, Teguh dalam memegang prinsip. Dan Peramah.
Dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat Arab pra Islam adalah mereka suka melakukan perdagangan.
kondisi politik masyarakat Arab pra Islam adalah bersuku-suku atau kabilah-kabilah yang berdiri sendiri dan satu sama lain saling bermusuhan. Mereka tidak menganal rasa ikatan nasional, yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah dan Setiap kabilah mempunyai seorang pemimpin yang harus dipatuhi. Selain itu sudah adanya pembentukan semacam parlemen di Mekkah sebagaimana yang telah disebutkan.




DAFTAR PUSTAKA

Cholil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 1, 2001, Jakarta: Gema Insani Perss.
Ilahi, Wahyu dan Harjani Hefni Polah, 2007, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Shafiyyur Rahman al-Muarakfury, sirah nabawiyyah, 1997, jakarta : Pustaka al-Kautsar,
Supriyadi, Dedi, sejarah peradaban Islam, 2008, Bandung: CV. Pustaka Setia,
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, 2009, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.


[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang :PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm.20-21.
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm.49-50.
[3] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury, sirah nabawiyyah, (jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1997) hlm:25.
         [4] Dedi Supriyadi., hlm 49.
[5] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm:26.
[6] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm.28-30.
[7] Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 1, (Jakarta:Gema Insani Perss, 2001), hlm.19.
[8] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm.49.
[9] Moenawar Cholil., hlm.20.
[10] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm:49.
[11] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm.57.
[12] Dedi supriyadi., hlm. 54.
[13] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm: 55-57.
[14] Fatah Syukur., hlm.22.
[15] Dedi supriyadi., hlm. 50.
[16] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm.59-62.
[17] Moenawar Cholil., hlm.19.
[18] Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni Polah, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 46.
[19] Moenawar Cholil., hlm. 22-23.
[20]  Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm..45-47.
[21] Fatah Syukur,. hlm.24-25.
[22] Shafiyyur Rahman al-Muarakfury., hlm:25.
Ruang Belajar Channel
Ruang Belajar Channel Education Content Creator

Posting Komentar untuk "MAKALAH : SOSIOHISTORIS MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM"