Pendahuluan
Diakui atau tidak, dunia saat ini
dihadapkan pada perubahan tatanan sosial yang muncul di semua lini kehidupan
secara besar-besaran, setelah adanya era Industry 4.0 yang cukup membawa banyak
perubahan, saat ini kita harus bisa menghadapi era Society 5.0 sebuah era yang
akan menciptakan tatanan masyarakat yang
berpusat pada manusia (human–centered) dan berbasis teknologi (technology
based). Society 5.0 merupakan kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi
kemanusiaan yang berhubungan dengan semua bidang kehidupan diharapkan menjadi
suatu kearifan baru dalam tatanan bermasyarakat.
Munculnya Society 5.0 ini memberi
tantangan tersendiri khususnya dalam membangun karakter, karena karakter merupakan
aspek penting dari kualitas sumber daya manusia, kualitas karakter akan menentukan
kemajuan suatu bangsa, namun yang harus dipahami adalah Karakter yang
berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, sebab usia dini
merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang, sehingga kegagalan
penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi dan
karakter yang bermasalah di masa dewasanya kelak, bukan hanya akan
menghancurkan diri sendiri tapi juga akan meresahkan masyarakat sekitar.
Pengertian Membangun Karakter
Karakter Secara etimologis berasal
dari bahasa Yunani (Greek), yaitu eharassein yang berarti “to engrave”. Kata
“to engrave” itu sendiri dapat diterjemahkan menjadi mengukir, melukis,
memahatkan, atau menggoreskan, sedangkan dalam bahasa Inggris, karakter disebut
dengan istilah character yang berarti mengukir, melukis, memahatkan, atau
menggoreskan. (Ryan, Kevin & Karen, 1999: 5).
Berbeda dengan kamus bahasa
Inggris, Kamus Bahasa Indonesia mengartikan kata “karakter” dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain. Merujuk pada pengertian kebahasaan dalam kamus bahasa Indonesia
tersebut, karakter dapat dipahami sebagai huruf, angka, ruang, simbol khusus
yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008: 682). Karakter merupakan standar-standar batin yang
terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri artinya, orang berkarakter
adalah orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau
berwatak.
Secara terminologis Thomas
Lickona, sebagaimana dikutip Marzuki mendevinisikan karakter sebagai “A
reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.”
Selanjutnya, Lickona menyatakan, “Character so conceived has three interrelated
parts: moral knowing; moral feeling, and moral behavior”. Karakter mulia (good
character) mencakup pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing) yang
menimbulkan komitmen terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya
benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan demikian, karakter
mengacu pada serangkaian pengetahuan (cognitives) sikap (attitudes), dan,
motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (Marzuki,
2011: 470).
Dari uraian di atas ”karakter”
itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai)
dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat
dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu
penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di
luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar
kamuflase. Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari
kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku.
Dengan ini pembangunan karakter
berkenaan dengan psikis individu, diantaranya dari segi keinginan, nafsu,
motif, dan dorongan berbuat. Pembangunan karakter adalah pemberian pandangan
mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian,
tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan.
Dengan demikian pembangunan
karakter dapat mengintegrasikan informasi yang didapat untuk dijadikan
pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya,
sekaligus akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai
makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan
ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta
memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok dirinya tampak
memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan
produktivitas.
Selain itu, pembangunan karakter
akan memberikan kesadaran tentang tugas yang harus dilaksanakan, memahamkan bagaimana
mengambil sikap terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, sekaligus
memunculkan kearifan dalam menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, peka
terhadap nilai keramahan sosial, bertanggung jawab atas segala tindakan dan segudang
aktifitas yang dilaksanakan baik secara individual maupun komunal.
Pembangunan Karakter Ala Pesantren
Istilah pesantren kadang berbeda penyebutannya dari satu daerah ke daerah lainnya, di Aceh pesantren dikenal dengan dayah, rangkang, atau menuasa. Sedang di Minangkabau (Sumatra Barat) lebih dikenal dengan itilah surau (Nizar, 2013: 87). Adapun di Jawa, Sunda, dan Madura sering disebut dengan nama pondok atau terkadang kedua kata ini digabung menjadi Pondok Pesantren (Hariadi, 2015: 9).
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang sampai sekarang tetap memberikan kontribusi penting di bidang sosial keagamaan. Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat (indigenous) pada masyarakat muslim Indonesia dalam perjalanannya mampu menjaga dan mempertahankan keberlangsungan dirinya (survival system) serta memiliki model pendidikan multi aspek.
Sebuah lembaga pendidikan dapat disebut sebagai Pondok Pesantren apabila di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu: kiai, santri, pengajian, asrama, masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan yang dilaksanakan dalam memenuhi Tri Darma Pondok Pesantren, yaitu: Peningkatan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah azza wa jalla, Pengembangan keilmuan yang bermanfaat, dan Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan Negara.
Pola kehidupan yang terbina dalam pondok pesantren sangatlah unik dan menarik untuk dikaji serta dicermati, yang kesemuanya mengarah kepada pembangunan karakter, diantaranya:
- Ketaatan
santri yang tinggi kepada kiai; walaupun ada sebagian kecil santri yang
“bandel”, terkadang mereka didepan kiai sangat hormat dan patuh tetapi
saat kiai tidak ada dia menjahili teman-temannya.
- Hidup
hemat dan sederhana; keadaan Pondok Pesantren “memaksa” mereka untuk
berhemat karena hidup seadanya, tidak disediakan fasilitas lebih walaupun
dia berasal dari keluarga yang kaya.
- Tingginya
semangat kemandirian pada santri; hidup jauh dari orang tua membuat santri
terdidik mandiri, semua dilakukan sendiri.
- Berkembangnya
suasana persaudaraan dan tolong menolong; hidup di sebuah pesantren telah
menciptakan rasa persaudaraan yang erat pada santri, karena teman sekamar
adalah orang yang paling dekat yang bisa saling membantu jika terjadi
masalah.
- Kuatnya
semangat mencapai cita-cita; tiap santri yang masuk ke pesantren mempunyai
motto hidup masing-masing, sehingga motto hidup tersebut bisa dijadikan
semangat mereka untuk mencapai yang yang mereka inginkan.
- Tertanamnya sikap disiplin dan istiqomah; disiplin bisa terbentuk karena kebiasaan, kebiasaan yang baik dibentuk di sebuah pondok pesantren agar santri-santrinya hidup disiplin
Metode Pembangunan Karakter di Pondok Pesantren
Dari pola kehidupan yang terbina dalam pondok pesantren di atas dapat dipahami bahwa Pondok Pesantren secara real telah mempraktekkan berbagai metode dalam membangun karakter santri-santrinya, diantaranya:
1. Metode Keteladanan
Yang dimaksud dengan metode keteladanan yaitu suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan (Syahidin, 1999: 135). Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah dan paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Ahli pendidikan banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil. Hal ini disebabkan karena secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal.
Di Pondok Pesantren Keteladanan merupakan salah satu cara untuk membangun karakter, dengan figur Kiai dan ustadz sebagai role model nya. Dalam konteks sekolah maka semua pimpinan sekolah, tenaga kependidikan, dan guru harus bisa menjadi role model bagi seluruh peserta didik. Segala perilaku harus mencerminkan karakter-karakter yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Jika pendidik dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter, maka pendidik dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai terebut.
2. Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir tidak disadari oleh pelakunya) (Syahidin, 1999: 134). Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir.
Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda itu sulit untuk dirubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Maka diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya.
Pembangunan karakter santri yang dilakukan dipesntren melalui pembiasaan dengan nilai-nilai keagamaan dan nilai luhur bangsa. Pembiasaan yang dilakukan di pesantren dilakukan secara terus menerus selama 24 jam nonstop. Hal ini menunjukkan bahwa pembiasaaan tidak dapat dilakukan secara singkat, pembiasaan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Di sekolah untuk melakukan pembiasaan terbatas oleh waktu yang singkat oleh karena itu guru atau tenaga pendidik harus bisa mengoptimalkan waktu yang singkat untuk membentuk kebiasaan siswa yang sesuai dengan nilai-nilai karakter yang ingin ditanamankan kepada peserta didik. Contohnya, membiasakan siswa untuk berdoa sebelum dan sesudah pembelajaran, bersalaman ketika bertemu dengan guru, melakukan program shalat berjamaah dan lain-lain
3. Metode Nasihat dan Mauidhoh Hasanah
Yang dimaksud dengan nasihat adalah penjelasan kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat (Syahidin, 1999: 190).
Dalam metode memberi nasihat dan mauidhoh hasanah ini sang kiai mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan para santri kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat, diantaranya dengan menggunakan kisah-kisah Qurani, kisah Nabawi dan cerita tentang umat terdahulu yang bisa dipetik intisarinya sebagai pelajaran dan diambil hikmahnya.
4. Metode Targhib dan Tarhib
Yang dimaksud dengan metode Targhib dan Tarhib adalah Metode Motivasi dan Intimidasi. Targhib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya (Syahidin, 1999: 121).
Metode ini akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang menarik dan meyakinkan pihak yang mendengar. Oleh karena itu hendaknya pendidik bisa meyakinkan muridnya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya apabila bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka akan membuat murid tersebut malas memperhatikannya. Seorang kiai rata-rata punya kemampuan retorika handal, bahasa yang lembut, sehingga para santri benar-benar meresapi, memahami dan mau mengamalkan petua-petuah dari pak kiai.
Sedangkan tarhib berasal dari rahhaba yang berarti menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancamnya sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah. (Syahidin, 1999: 121).
Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang ada dalam psikologi belajar disebut sebagai law of happines atau prinsip yang mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar Sedang metode Intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan.
Targhib dan Tarhib di Pondok Pesantren terwujud dengan cara memberikan reward kepada santri yang disiplin dan menjatuhkan hukuman kepada santri yang melanggar peraturan. Proses ini tidak dimaksudkan memaksa santri untuk berperilaku seperti yang diprogramkan akan tetapi mendorong santri untuk menyadari pentingnya nilai-nilai karakter dan kedisiplinan.
Pesantren Menyongsong Era Baru
Pondok Pesantren pasca hadirnya fenomena inovasi disrupsi berlanjut ke era society 5.0 diprediksi akan masuk pada era baru sistem pendidikan, Kegiatan belajar-mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola pembelajaran digital yang memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif, beragam, dan menyeluruh. Keberadaan teknologi informasi telah menghapus batas-batas geografi yang memicu munculnya cara-cara baru untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru.
Upaya pondok pesantren sudah mulai menggeliat lewat pembukaan ruang dialog dengan perubahan zaman dengan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih relevan dan membawa maslahat juga lebih sempurna dalam menjaga eksistensi pesantren selaras dengan kaedah fiqhiyah, “Menjaga teguh dan melestarikan nilai-nilai lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang jauh lebih relevan”. Salah satu upaya yang dilakukan Pondok Pesantren adalah:
1. Membangun Literasi Digital di Pesantren
Perkembangan dalam teknologi digital dengan artificial intelligence (AI) yang mengubah data menjadi informasi, membuat orang dengan mudah dan murah memperolehnya. Sekarang sudah bisa kita lihat banyak kiyai ketika mengajar sudah memberikan tugas berbasis online yang mana pencarian informasinya bukan terpaku pada buku cetak saja. Ini sudah mulai terlihat di perpustakaan Pondok Pesantren yang sudah memakai teknologi baik berupa ebook maupun online internet. Peralihan naskah-naskah keagamaan dari cetak ke bentuk digital piranti lunak (Software) seperti maktabah syamila, Maktabah AtTafasir, I-waris dan sejenisnya akan banyak membantu proses pembelajaran dan percepatan pemahaman secara komprehensif.
Literasi digital juga sudah mulai diterapkan dalam sistem manajemen pesantren. Sistem informasi pesantren atau sistem manajemen pesantren berbasis ICT di era digital menjadi keharusan untuk digunakan oleh pesantren yang berorientasi pada layanan pendidikan baik kepada orangtua maupun peserta didiknya. Sistem manajemen pesantren akan membantu pengelolaan administrasi dan sumber daya di pesantren mulai informasi dan sistem penerimaan, menjalankan aktivitas belajar mengajar, sampai santri menyelesaikan masa belajar yang kesemuanya terekam dengan rapi didalam sistem manajemen pesantren yang berbasis teknologi.
2. Membuat Kanal (channel) Kajian Keislaman
Di era sebelumnya kita dikenalkan media elektronik semacam tivi dan radio yang memiliki keterbatasan pada waktu siar, maka hari ini pun perlahan mulai ditinggalkan, masyarakat zaman now lebih suka menonton live melalui media Youtube atau facebook yang menyediakan layanan streaming, sehingga mereka bisa belajar, mendapatkan informasi, menonton hiburan yang disukai dan mengikuti segala hal yang diinginkan tanpa harus dibatasi oleh ruang dan waktu.
Pondok Pesantren di era baru ini tentu tidak bisa lagi bersikukuh mengunakan cara-cara lama seperti ceramah sebagai satu-satunya teknik dominan dalam menyampaikan materi dakwah dan pembelajaran, bukan saja karena jangkauan segmen pendengarnya yang terbatas ruang dan waktu tetapi juga terkait fleksibilitas akses terhadap materi dakwah.
Media dakwah dan pendidikan yang berbasis teknologi mutlak diperlukan. Karena realitas masyarakat millennial telah dapat mengakses ceramah, tausiyah dan materi dakwah secara mudah di mana pun dan kapan pun mereka menginginkannya maka secara perlahan media sosial telah banyak memberi pengaruh pemahaman agama terutama anak-anak zaman now.
Kondisi ini tentu dipahami pula oleh Pondok Pesantren dalam mengimbangi literatur keislaman yang tersebar melalui media sosial (medsos) terutama pesan-pesan yang mengandung bias-bias ideologi konservatif yang intoleran, liberal dan radikal dengan memproduksi literatur keislaman yang moderat, humanis dan toleran berbantukan teknologi, termasuk dalam membangun karakter anak bangsa kegiatan di pesantrenpun bisa dilive streamingkan sehingga keteladanan kiai bisa diteladani bukan hanya santri yang ada di pondok pesantren tapi bisa diteladani juga oleh masyarakat di luar pondok pesantren.
Kesimpulan
Karakter akan terbentuk bila aktivitas dilakukan berulang-ulang secara rutin hingga menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya tidak hanya menjadi suatu kebiasaan saja tetapi sudah menjadi suatu karakter sebagaimana yang telah terwujud dalam pola kehidupan pondok pesantren. Pembangunan karakter dapat diterapkan pada semua mata pelajaran. Setiap mata pelajaran yang berkaitan denga norma-norma perlu dikembangkan dan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dipraktekkan oleh semua unsur yang ada, kiai dan guru memberi contoh, santri dan peserta didik meneladaninya, Melalui penguatan nilai-nilai pembangunan karakter yang benar dengan harapan anak-anak Indonesia penerus perjuangan bangsa dan Negara bisa menjawab berbagai tantangan pendidikan di era Society 5.0 serta mampu membangun karakter generasi yang kuat, istimewa, kreatif, inovatif, berkarakter, berintegritas dan menjunjung tinggi toleransi menuju cita-cita bersama terwujudnya “Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur”.
Daftar Pustaka
- Hariadi. Evolusi pesantren: studi
kepemimpinan kiai berbasis orientasi ESQ. Yogyakarta: LkiS, 2015.
- Marzuki. Prinsip Dasar Akhlak Mulia:
Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etiha dalam Islam, Yogyakarta:
Debut Wahana Press-FISE UNY, 2011.
- Nizar, Samsul. Sejarahsosial dan dinamika
intelektual pendidikan islam di Nusantara, Jakarta: Kencana, 2013.
- Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
- Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin. Building
Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life,
San Francisco: Jossey Bass, 1999.
- Syahidin. Metode Pendidikan Qur’ani Teori
dan Aplikasi, Jakarta: CV Misaka Galiza, 1999.
Posting Komentar untuk "MEMBANGUN KARAKTER ANAK ALA PESANTREN MENYONGSONG ERA SOCIETY 5.0"